Adzan subuh telah terdengar dari musholah depan rumah Ais, Ais beranjak dari tidurnya.
Ia langsung mengambil air wudlu dan berangkat ke musholah. Ia tak lupa selesai
sholat berdoa kepada Allah swt, Ais berdoa agar ia cepat bertemu dengan orang
tuanya.
“ya,
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ampunilah dosa-dosaku…
pertemukanlah aku dengan kedua orang tuaku, karena aku telah sungguh-sungguh
merindukannya”.
Selesai
sholat subuh Ais buru-bur mandi dan bersiap-siap goreng pisang yang akan
dijualnya pagi ini.
Ya…
inilah Ais, gadis 17 tahun yang belum pernah melihat orang tuanya, hanya nenek
yang ia punya dan sekarang pun telah tiada. Setelah neneknya meninggal, Ais
hidup sendiri di dunia ini, ia mempertahankan hidupnya dengan menjual pisang
goreng dan sebagi loper koran. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia
berangkat mengantarkan dan menjajakan pisang gorengnya. Dia sekarang sudah mau
lulus SMA.
“biaya
ujian pasti mahal dan aku harus menabung untuk itu, aku harus tetap semangat”.
Pikirnya dalam hari.
Ais
masih ingat pesan neneknya, bahwa hidup di dunia ini perlu ilmu untuk menuju
kehidupan yang haqiqi. Itulah yang ia pakai sebagai motivasi dalam hidup.
“meskipun
hidup sendiri toh aku yakin masih banyak orang-orang yang menyayangiku”
pikirnya.
Aisyah
Maharani, itulah nama lengkapnya, nama yang diberikan oleh nenek Ais yang
meninggal dunia dua bulan lalu. Berjualan pisang goreng itu pun adalah warisan
dari neneknya, memang sebelum meninggal neneknya berjualan pisang goreng yang
dibantu oleh Ais.
“Mbak
Ais, sampun ta pisang gorengnya, tak bantuin lagi…” tangya Vebri masuk ke dalam
dapurnya.
“eh iya,
ini tinggal dikit, tolong bantuin ya, aku mau nata korang sebentar”.
“enggeh”
Vebri
adalah tetangga Ais yang telah ia anggap sebagai adik sendiri, begitupun dia,
Ais telah menjadi seperti kakaknya sendiri. Rumahnya pun bersebelahan dengan
rumah Ais. Meskipun dia lebih muda tiga tahun dari Ais, namun dia bisa menjadi
teman suka dukanya selama ini.
“pisang
goreng, pisang goreng, masih hangat… murah meriah” Ais sedang menjajakan
dagangannya.
Beberapa
saat kemudian beberapa ibu sudah mendekat ke dagangan AIs. Ais duduk dan
meladeni ibu-ibu yang ingin membeli dagangannya. Belum beberapa lama pisang
goren Ais tinggal 10 biji.
“Alhamdulillah…
terima kasih ya Allah… atas rizki-Mu” ucap Ais dalam hati. Ais pun beranjak
dari duduknya, tetapi tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang berteriak
memanggilnya, Aispun duduk kembali.
“eh,
tunggu mbak, saya beli pisang gorengny”.
“enggeh
bu…”
“mbak
Ais yang cantik, saya beli pisang gorengnya sepuluh donk, tolong dibungkus ya…”
seru ibu itu.
“ah ibu bisa saja, iya sebentar… ini baru saya
masukin ke plastic, kok tumben banyak belinya mau buat hajatan ya…” jawab
Aisyah tersenyum manis.
“walah
sekarang Mbak Ais yang bisa aja. Anak-anaknya ibu itu loh ndak mau sarapan lek
pagi, jadi saya bawakan pisang goreng aja buat bekal sekolah”
“ini bu…
semuanya 5000 saja”
“makasih
yah mbak”
Memang
pisang goreng Ais sudah terkenal enak di kampungnya, sehingga tak sampai
keliling jauh-jauh untuk menawarkan pisang gorengnya. Apalagi dengan cara bica
Ais yang sopan dan suka bercanda kecil yang membuat para pelanggannya jadi suka
padanya. Tetapi bukan hanya pelanggannya saja, teman-teman sekolahnya pun juga
suka dengan Ais.
Suatu
hari Ais diikutkan oleh teman-temannya untuk mengikuti lomba KIR tingkat
kabupaten, karena menurut mereka Ais punya prestasi lebih. Ais sangat gembira
sekali, dan akhirnya benar juga,Ais memenangkan lomba KIR mendapat juara umum.
Diapun mulai dikenal seantero sekolah. Guru-guru pun sangat bangga dengan Ais.
Ada
salah satu guru yang tiba-tiba sangat mengagumi kehidupan Ais, namanya bu
Indah, bu Indah adalah seorang janda yang bercerai dengan suaminya karena
suaminya selingkuh.
Konon
ceritanya ia
kehilangan putrinya saat berumur 2 tahun. Saat itu dia mengajak anaknya,
tiba-tiba anaknya sudah hilang. Sudah lima belas tahun ia mencari tetapi belum
ada hasil. Sehingga ketika bu Indah melihat Ais yang hidup sebatang kara, ia
ingin menangis teringat putrinya. Dia sudah kecewa dengan suaminya yang
meninggalkannya sendiri dan putrinya pun entah dimana ia tak tahu.
Suatu
ketika ia berpikiran untuk mengangkat Ais sebagai putrinya, ia melihat
prestasi, Ais yang sayang kalau tidak melanjutkan ke perguruan tinggi negeri.
Saat istirahat bu Indah menyuruh salah satu siswa yang sekelas dengan Ais untuk
memanggilkan Ais.
“Sis, Siska… tolong saya dipanggilkan Aisya Maharani,
suruh dia ke ruangan saya” seru bu Indah.
“Ais
ndak masuk hari ini bu, katanya dia izin sakit”
“oh… ya
udah kalo begitu, kamu tau ndak alamat rumahnya Ais?” tanya bu Indah.
“tau bu,
ibu mau ke sana?”
“iya…
nanti sepulang sekolah bisa nggak nganterin ibu ke sana?”
“bisa
bu…”
“makasih
ya… nanti ibu tunggu”
Akhirnya
sepulang sekolah Siska mengantar bu Indah ke rumah Ais.
Bu Indah
terpengarah melihat keadaan rumah Ais, ada rasa kasihan di hatinya Siska
mengetuk pintu rumah Ais.
“tok…
tok tok, Assalamu’laikum, Ais ini Siska”
“wa’alaikumsalam,
masuk aja tidak dikunci kok” jawab Ais dari dalam rumah.
Siska
dan bu Indah masuk ke dalam rumah Ais dan langsung ke kamar Ais, melihat Ais
merebahkan dirinya di atas kasur karena kedatangan mereka.
“ada apa
Sis, kok bu Indah juga ikut ke sini?” seru Ais memuli pembicaraan.
“masa
ibu ndak boleh menjenguk kamu, bolehkan…” bu Indah yang menjawab.
Ais
memperbaiki posisi rebahannya supaya lebih enak dan pada saat itu kalungnya
terlihat oleh bu Indah. Bu Indah kaget melihat kalung itu, karena kalung yang
dipakai Ais sama persis dengan kalung yang dipunyai anaknya. Bu Indah takut
ingin menanyakan kalung itu, tetapi ia beranikan diri demi menemukan anaknya
kembali.
“maaf
Ais, itu kalung yang kamu pakai, kamu beli di mana?” tanya bu Indah.
“oh ini,
saya ndak beli kok bu, kata almarhum nenek saya ini kalung yang saya pakai
waktu nenek menemukan saya di depan kebun binatang, waktu itu nenek bekerja
sebagai tukang sapu di sana” jawab Ais polos.
Mendengar
hal itu, bu Indah langsung menangis, dia merasa sangat bahagia menemukan anak
yang dicintainya. Ais langsung dipeluknya erat-erat sambil ia memegang kalung
itu.
Ais
masih terbengong-bengong dipelukan bu Indah, setelah tangisnya mereda, bu Indah
pun menceritakan segalanya dan sejelas-jelasnya.
Ais
langsung memeluk Ibu yang dirindukannya itu, rasa rindu yang begitu jelas
terpancar dari Ais dan bu Indah kemudian Ais pun tinggal bersama bu Indah di
rumah barunya. Ais merasa bahagia saat ini, hidupnya yang telah berwarna.
“oh…
akhirnya kisahku jadi happy ending” seru Ais dalam hati.