Pelabuhan yang karam



Belajarlah bercinta dengan laut dan kau akan menemukan keteduhan disana……..

Senja telah tiba, dan aku masih membisu tanpa arti di sebuah kursi goyang tua yang terletak tepat di depan cendela kamar. Mega merah yang menyala terus menatapku tajam. Namun tak sedikitpun aku berkutik, karna aku menyukai hal ini. Pandanganku juga tak lepas dari luasnya laut yang tanpa batas, dengan deburan ombak yang terus menabrak karang-karang yang menjulang tanpa sedikitpun kasihan. Oh……karang bersabarlah nasib kita hampir sama, saat ini kau sendirian begitu juga aku, kau saat ini merasa kesakitan, akupun demikian. Bahkan mungkin lebih sakit dari yang kau rasakan. Rindu, cemas, bosan semua telah melebur menjadi satu, hampir melekat rasanya.
~~~~O~~~~
Malam mulai menjelma, hembusan angin spontan meraba kulitku yang hanya tertutupi daster tipis yang dibalut switer tebal biru muda. Namun angin takkan pernah mengalahkanku, karna tak sedikitpun aku beranjak dari persinggahanku. Aku hanya seonggok daging bernyawa yang tak berdaya, tak dapat menjangkau luasnya samudra atau hanya sekedar menapaki jalan-jalan gersang tak bertuan. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah duduk bersandar di kursi reyot sambil menatap beberapa kapal yang singgah, mencoba menelusuri satu persatu wajah lelaki yang keluar masuk kapal. “ ah… lagi-lagi kau tak ada.” Pikirku.
Mataku mulai merapat, hembusan angin kembali menabrakku  tapi kali ini lebih lembut. Aku seolah hanyut terbawanya. Sekilas terlintas dalam angan akan bayangan lelaki kekar bermata sipit dengan tahi lalat di dagu, ia tampak manis penuh wibawa. Pantai dan senja menjadi saksi pertemuan pertamaku dengannya, bayu. Ia adalah pelancong dari Jakarta kota metropolitan yang hidupnya penuh sandiwara. Ia adalah pelancong yang rindu suasana desa, yang rindu suasana pentai, sederhana namun kaya makna. Dengan wajah memerah aku mengantarnya jalan-jalan, sekedar berkeliling pantai. Layaknya pemandu wisata aku berjalan sambil menjelaskan keadaan di sini, mataku tak sengaja bertemu dengan matanya, oh…betapa menawannya.
“tuan, mengapa tuan kemari hanya ketika senja mulai menjelma?” tanyaku iseng.
“kau tau….emmm siapa namamu?”
“sukma”
“kau tau sukma, senja adalah cermin dari keteduhan hati, tiap kali aku menatap senja, aku seperti ikut hanyut di dalamnya, aku juga tak mengerti mengapa seperti itu yang pasti seluruh beban yang ada di hidupku seakan lenyap seketika.”
“kau tahu sukma,” ia kembali melanjutkan ucapannya “keteduhan seperti ini yang kucari, keteduhan dari mata seorang gadis lugu penuh pesona sepertimu” sambungnya, seolah menyelam di balik mataku.
“aku?? Tuan jangan bergurau” dengan wajah memerah aku mencoba menepis semuanya.
Aku tak bergurau sukma,coba kemari”menarikku kepinggir laut “bercerminlah diair ini, kau cantik dan memiliki mata yang teduh. Atau jika kau tak percaya tanyakan pada elang-elang yang sedari tadi mengawasi kita. Mereka pasti akan mengatakan hal yang sama”
~~~~O~~~~


Sebias cahaya menyelam di antara birunya air laut. Ku langkahkan kakiku menyusuri panorama itu. Aku berhenti tepat dipinggir laut, diam sejenak dan mencoba menyela di dalam.
“keteduhan? Tak ada…” rancuku dalam hati.
“benarkan sukma??”Aku tersentak dibuatnya.
“sukma” sambil memegang tanganku.”hari ini aku akan kembali ke Jakarta, sebenarnya berat bagiku untuk meninggalkan semua ini, meninggalkanmu dan kenikmatan bercinta dengan senja. Tapi sebelum aku benar-benar pergi ada satu hal yang ingin kukatakan padamu.”
Aku mencoba bertahan, air mataku pecah karenanya.
“sukma aku menyukaimu, menyukai keteduhan yang ada di matamu”
“tuan sudahlah jangan terus menerus bergurau.”
“tidak sukma, sungguh aku tak bergurau. Apa kau memiliki perasaan yang sama?”
“sukma kumohon jawablah!! Setidaknya ada satu hal yang membuatku bersemangat untuk kembali kesini”
Aku hanya mengangguk perlahan, ada rasa bahagia di hatiku namun itu berarti rasa rinduku akan memenuhi hatiku dalam penantianku.
“terima kasih sukma. Tunggu aku sukma, aku akan kembali secepatnya. Aku berjanji akan menjaga hatiku, kuminta kau juga demikian sukma dan kau harus berjanji pula jangan pernah redup apa lagi padam, dengan atau tanpaku kau harus menjadi wanita yang baik.”
“iya aku berjanji bayu.”
~~~~O~~~~
Saat peluit kapal-kapal mengantarkan fajar, mamuntahkan beberapa barang rongsokan dan puluhan ribu penumpang. Tak ada kau disana, aku tetap membisu dalam hiruk pikuk para pelancong yang datang. Sambil terus membaca surat terakhir yang kau kirim dua tahun silam. Aku tak pernah bosan apa lagi muak membacanya karna setiap kata yang kau tulis membuat sinarku kembali terang, dan bukankah ini yang kau inginkan.
~~~~~O~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Komentarya ya