JANGAN LAGI MENGGUGAT TUHAN



Kala pagi masih perawan, mentari belum mendaki, sekalipun langit tiada awan.  Di pagi itu aku mengantungkan baju pada paku yang menancap di bilik-bilik kamar. Baju putih dan rok abu-abu yang pantas disebut lap meja atau kain pel. Tapi sayang, hanya baju itu yang aku punya.
Aku tergesa-gesa menuju dapur sebab perut ini lapar sekali. Maklum, sedari pagi tak ada sesuatu pun yang aku makam. Kosong, bakul nasi yang jarang berisi.Itu hari ini pun kosong.Panci-panci masih tergantung di tempatnya.Dalam tungku juga tak ada abu.Berarti,ibuku tidak memasak lagi, sebal !!! Kenapa harus seperti ini setiap hari? Perutku jarang bertemu dengan nasi.Bisa-bisa aku mati karna usu ku infeksi.
Ku teguk saja air minum sebanyak-banyaknya.Ini sering ku lakukan tiap kali aku menahan lapar.Kurebahkan badan,mencoba pejamkan mata dan lupakan rasa lapar.Rumah memang sepi,tak ada orang.Tapi,entah mengapa aku susah sekali untuk tidur.Apa mungkin suara perutku  yang berisik?
“Eka…bantu ibu,nak!!!”Suara ibu memanggil aku.Ibu pulang,mungkin dia membawa makanan pulang.Segera saja aku bangkit.Menemui ibu penuh harap,pulang membawa sesuatu yang bisa dimakan.Ternyata tidak,ibu hanya pulang membopong Dwi,adikku yang mengigil dan badannya panas.Kuraih adikku dan ku tidurkan di balai-balai.Segera ku selimuti dank u ambil kompres.Ibu duduk sambil memandang dengan tatapan kosong.
“Maaf,nak.Hari ini kamu tak makan lagi.Tadi sebelum pulang,reman ibu memberi uang ini.Belikan nasi bungkus  dan obat turun panas untuk adekmu.Kamu makanbesok saja ya,nak?”
“Dwi kenapa,buk?”Ku Tanya ibu kenapa Dwi seperti ini.Ibu malah menangis.Tiba-tiba saja,”Ini salah ibu,nak…”   Ibu jadi hisreris dan memeluk tubuh Dwi,meratap sambil mendekapnya erat-erat.
Dengan terbata ibu mencoba berkata, ”Sewaktu ikut ibu mencari kardus tadi, Dewi melihat teman-temannya makan ice cream”. ibu menghela nafas sambil tetap mengecup kepala Dewi.“Dia merengek minta dibelikan ice cream. Tapi kamu tahu sendiri, untuk makan hari ini saja ibu tak punya uang……” ibu tampak tak sanggup meneruskan ceritanya. “lalu, Bu?” aku mencoba bertanya kepada ibunya.
“Karena dia rewel, ibu mencubitnya. Dia menangis dan bergulung-gulung di tanah. Tangisnya semakin keras, tapi ibu tetap membiarkannya. Akhirnya dia menggigil dan badannya menjadi panas seperti ini….” Ibu menangis sejadi-jadinya disamping Dewi. Aku tertegun, tak mampu berucap lagi. Adikku sakit hanya karena ingin makan ice cream yang harganya tak seberapa itu. Tapi memangibu tak mampu membelikannya.
“maaf nak, hari ini kau tak makan lagi. Tadi sebelum pulang, teman ibu member uang ini. Bukan nasi bungkus dan obat turun untuk adikmu. Kamu makan besok pagi saja ya?”, ibu menghapus air matanya sambil menyerahkan dua lembar seribuan kepadaku. Aku menerimanya dengan berat hati. Kupandang wajah ibuku yang lelah, sarat beban. Keriput tampak jelas diwajahnya, padahal usianya belum begitu tua. Aku ingin menemaninya sekarang, aku ingin sekali menghapus dukanya, rapi rintihan Dewi mwmbuat bergegas pergi.

Senja mulai berganti malam. Sekarang Dewi tak panas lagi, obat turun panas yang kuberikan kepadanya manjur tampaknya. Ibu juga sudah terlelap sedari tadi. Kututup wajah kedua orang yang amat kusayangi itu. Beban hidup tampak jelas bergambar. Kesusahan demi kesusahan menjadi makan tiap hari. Membuat kami lupa, apa itu bahagia.
Andai bapak masih ada, ibu tentu tidak harusbekerja sekeras ini. Aku juga tak perlu sekolah dengan bantuan BKM dari sana sini. Dewi juga bisa punya mainan bagus. Pekerjaan bapak sebagai tukang batu  memang tidak menjanjikan kehidupan mewah. Paling tidak, kebutuhan kami tercukupi dan kami bisa makan tiap hari. Tapi semuanya musnah tatkala bapak mendapat kecelakaan sewaktu bekerja di proyek. Bapak terpeleset dari lantai lima gedung yang sedang dibangunnya, kedua kakinya patah dan bapak mengalami gegar otak. Andai hari itu tak pernah terjadi, mungkin semua tak jadi begini.
Aku keluar rumah pandanganku melayang jauh ke angkasa. Malam ini bintang tak terlihat. Bulan pun agaknya enggan membentangkan banyak cahaya, yang ada Cuma mendung yang menggantung menutupi keindahan malam. Sambil sesekali tampak cahaya kilat menyambar di kejauhan.
Aku termenung, kembali merenungi nasib, kenapa memang Tuhan bisa setega ini. Kenapa dia tak pernah memberiku kebahagiaan. Kenapa aku tak pernah diberi waktu sebentar saja untuk tersenyum, atau kalau boleh untuk tertawa. Derita selalu datang silih berganti. Rasanya tak kuat lagi. Ini tak adil!!!
Air mata jatuh susul menyusul. Tak kukirakan , aku tetap ingin protes kepada Tuhan. Aku terima, jika aku terus yang selalu menderita. Tapi agaknya percuma, Tuhan tak mendengarku. Inilah namanya takdir. Aku sadar aku tak pernah bisa melawan. segera kuhapus semua air mata, cepat-cepat aku masuk kerumah, aku ingin segera tidur, siapa tau aku mimpi menjadi seorang putri yang selalu bahagia dalam hidupku.
Andai akulah saskia. Tinggal di rumah bertingkat, dengan teman kecil di depannya. Pakai baju bagus dan tidur dikamar yang kasurnya empuk, aku juga bisa makan bergizi tiap hari.
Suara adzan subuh terdangar bersahutan, kokok ayam turut meramaikan dinginnya fajar. Aku terbangun, tergagap. Ku hela nafas panjang panjang. Dalam mimpi pun Tugan tak adil padaku. Aku bermimpi rumah yang hampir roboh ini hanyut terbawa air banjir. Persetan saja! Ini cuma mimpi, aku tak mau perduli. Seperti biasa, setelah kubantu ibu dengan berbagai pekerjaan rumah aku berangkat ke sekolah. Langkahku terasa sangat berat. Terbayangkan sudah wajah sangar bu susi dengan tubuh tumbun lemak masuk kekelas. Kemudian menjejalku dengan tagihan ini itu. Aku bingung, alasan apalagi yang bisa kuberikan hari ini.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berhenti didepanku. Seorang gadis cantik keluar dari mobil itu.
“Eka…… ikut aku aja yuk!!! Saskia teman sekelasku menawari tumpangan. “ah, nggak usah sas bajuku kotor. Nanti mobilmu ikut kotor.” Aku mencobamenolak ajakan saskia. Dia tampaknya tidak suka. “ayolah, Eka…… hari ini aja”. Rengeknya dengan gaya renyah dan manja. Aku jadi tidak bisa menolak, apabila sebentar lagi bel berbunyi. Tak mungkin aku sampai sekolah tepat waktu jika berjalan kaki. Kurasakan dinginnya Air Conditioner mobil saskia yang sejuk sekali membuat orang yang didalamnya merasa betah. Kupandang saskia yang duduk disamping sopir. Wajahnya sangat cantik, orangnya juga ramah. Baju yang dipakainya selalu bagus dan rapi. Beruntung sekali. Papanya seorang pengusaha sukses, perusahaannya ada dimana-mana. Dan setiap hari saskia berangkat sekolah diantar dengan mobil sebagus ini. Andai akulah saskia. Tinggal berumah bertingkat, denan teman kecil didepannya, po’cai. Baju bagus dan tidur dikamar yang berkasur empuk dan bisa makan makanan bergizi tiap hari. Tapi aku adalah aku.tak mungkin jadi saskia. Inilah karena Tuhan! Kenapa aku dijadikan sebagai orang yang miskin. Padahal saskia saja dibuatnya menjadi kaya raya. Dia memang tak adil bukan?
Langit memerah, cahaya orange hampir menghilang diarah barat. Sengaja aku pulang terlambat hari ini.  Tadi kucoba mencarii pekerjaan paruh waktu, siapa tahu bisa membantu meringankan beban ibu. Tapi percuma, tak ada satupun toko yang mau menerima  anak sma yang tak becus apa-apa sepertiku. Setelah mandi, badanku terasa segar dan aku bisa tersenyum hari ini. Ada sekotak nasi dimeja. Tetanggaku selesai selamatan kelahiran cucunya, kusantap dengan lahap. Ibu menyuruhku menghabiskannya. Karena ibu dan Dewi sudah makan tadi disana. Perut kenyang balai-balai menunggu. Segera kurebahkan badan dan orang yang sudah kenyang pasti tidur. Aku lelah sekali hari ini. Apalagi di luar hujan deras. Malam jadi sangat dingin. Sebentar saja, suara tawa Dewi dan celoteh ibu tak kudengar lagi. “ka... eka bangun nak! Bangun!!! Sungai meluap nak, ada banjir!!” ibu membangunkanku. Hah!!! Aku tersentak kaget, mimpi sialan itu bisa terjadi. Ku kumpulkan nyawaku yang sempat terpencar-pencar. Hujan sangat deras dan guntur menggelegar membelah langit. Air sudah tinggi, sudah mencapai lutut. Kami harus mengungsi, ibu meraih apa saja yang bisa dibawa dan ku gendong Dwi. Bertiga kami bergegas menuju ke tempat pengungsian.
Semakin kurasakan ketidakadilan Tuhan. Aku malah jadi bertanya, apa benar Tuhan itu ada? Katanya dia selalu menyayangi dan mengasihi umatnya. Tapi kenyataannya? Tidak. Aku selalu menderita. Kini  harus berjejal-jejal dalam pengungsian, sumpek, apek bau sarang tikus. Jerit tangis anak kecil. Dan tiba-tiba pengungsian digegerkan dengan datangnya pengungsi baru. Seorang gadis yang tangannya putus, bibirnya bergetar dan membiru. Tubuhnya tampak kurus dan kumuh. Samar-samar aku mengenalinya bukan itu…..dadaku jadi sesak. Diliputi rasa haru dan menyesal, itu saskia. Rumahnya juga kebanjiran karena hujan sangat deras. Bukit belakang, di belakang rumahnya longsor. Papa dan mamanya tertimbun tanah karena tidak mau di evakuasi, mareka merenggang nyawa bersama harta yang mereka pertahankan.
Seketika aku berlutut, bersujud dihadapan tuhan..........maafkan aku. Aku ini hamba yang benar-benar tersesat. Selalu pertanyakan keadilanmu. Selalu ku mintak apa yang menjadi hakku. Tapi tak pernah aku mensyukuri apa yang aku dapat darimu. Maafkan aku....... ku peluk erat ibu dan adikku, sekarang aku merasa menjadi orang paling beruntung dunia. Dalam musibah seperti itu, walau aku kehilangan harta benda, tapi keluargaku masih utuh. Badanku juga masih sehat. Tak ada yang hilang atau cacat. Tuhan telah membuka mataku lebar-lebar. Dia tunjukan tunjukan keadilan dengan cara sendiri. Ku tarik semua hujatanku pada Tuhan. Aku menyesal, aku mohon ampun. Ku ambil air wudhu, ku kerjakan sholat yang telah lama kutinggalkan. Selesai sholat, aku tenggelam dalam tangis. Berdoa penuh harap. Kuyakinkan pada hati, jangan lagi menggugat Tuhan.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa Komentarya ya